Menjadi 'umar bakri' memang menjadi buah simalakama sekaligus buah bibir saat ini, pendidikan yg dibebankan dari pendahulu era orde baru menyiakan guratan masalah birokrasi. Yang pada akhirnya murid dan ortu siswa yg menjadi korban. Sistem pendidikan diharapkan ada perubahan baik dari kesejahteraan guru, kualitas output siswa dan kualitas lembaga penyelenggara pendidikan itu sendiri. Sekolah negeri masih banyak yg terkungkung dgn retorika dan konsep internasional yg menyisakan beban anggaran. Sedang swasta maju dg segudang konsep dan dananya. Namun tega meninggalkan keharmonisan dan kultur pendidikan yang sejatinya merupakan pengabdian, layaknya film laskar pelangi. Karena ini masalah output, bermuara pada keikhlasan dan kesabaran tenaga pendidik. Bukan hanya menyoal kelengkapan fasilitas pengajaran tapi mengenyampingkan kepribadian utuh pelajar. Pelajar yang bersahaja, cerdas, suka menolong, sederhana, dll. Nampaknya mulai bergeser kearah bisnis dunia pendidikan. Dan bisa ditebak nanti akhirnya tidak ada lagi tokoh bangsa sekelas buya hamka, hasyim asyari, ahmad dahlan, dan pejuang bangsa yang lahir dari surau atau sekolah rakyat yg bermodal cinta bangsa dan negara.
Sebagai mantan guru kelas saya merasakan hal yg sama, dg guru lainnya yg menginginkan kondisi pendidikan seperti dulu. Bagaimana kultur pendidikan begitu kental dan bersahabat, meski kita tidak melupakan perkembangan teknologi namun lihatlah positif negatifnya. Pernah suatu ketika emosi bukan kepalang karena anak didik yg bandel sekali saat senam. Alih-alih naik pitam, saya kepal saja keras-keras tangan ini. Syukur masih bisa terkendali. Ya, maklum saya menyasar dibanyak strata ekonomi. Dari yg sekolah gratis, swasta reyot, negeri dan internasional, meski kebanyakan bidang beladiri tapi sejatinya sebagai pembimbing sama, membuat murid dewasa, berfikir maju dan prestasi sesuai bidang yg saya ajarkan.
Namun kita harus tetap optimis dibalik permasalan bangsa yg carut marut ini selalu ada mutiara terpendam yg akan memimpin negeri ini.
Sebagai mantan guru kelas saya merasakan hal yg sama, dg guru lainnya yg menginginkan kondisi pendidikan seperti dulu. Bagaimana kultur pendidikan begitu kental dan bersahabat, meski kita tidak melupakan perkembangan teknologi namun lihatlah positif negatifnya. Pernah suatu ketika emosi bukan kepalang karena anak didik yg bandel sekali saat senam. Alih-alih naik pitam, saya kepal saja keras-keras tangan ini. Syukur masih bisa terkendali. Ya, maklum saya menyasar dibanyak strata ekonomi. Dari yg sekolah gratis, swasta reyot, negeri dan internasional, meski kebanyakan bidang beladiri tapi sejatinya sebagai pembimbing sama, membuat murid dewasa, berfikir maju dan prestasi sesuai bidang yg saya ajarkan.
Namun kita harus tetap optimis dibalik permasalan bangsa yg carut marut ini selalu ada mutiara terpendam yg akan memimpin negeri ini.